Sumut kembali menjadi sorotan nasional, bukan karena pembangunan atau prestasi, melainkan karena catatan inflasi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2025, tingkat inflasi tahunan (year-on-year) di Sumut mencapai 4,42 persen, jauh di atas rata-rata nasional. Kabupaten Deli Serdang bahkan menempati posisi dengan inflasi tertinggi antar kabupaten, mencapai 5,79 persen.
Angka ini tidak hanya menjadi perhatian pemerintah pusat, tetapi juga mencerminkan betapa rentannya kondisi ekonomi masyarakat di provinsi ini terhadap perubahan harga kebutuhan pokok. Harga bahan pangan, energi, dan transportasi menjadi faktor utama yang mengerek inflasi di Sumut ke titik paling tinggi.
“Inflasi tinggi di Sumut bukan hanya persoalan angka, tetapi cerminan tekanan hidup nyata bagi masyarakat kecil yang berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Latar Belakang Inflasi di Sumatera Utara
Untuk memahami situasi ini, kita perlu menelusuri jejak inflasi Sumut dari waktu ke waktu. Tahun 2022, inflasi di provinsi ini sempat menyentuh angka 6,12 persen, dengan kota Sibolga sebagai penyumbang tertinggi. Tahun berikutnya sempat mengalami penurunan hingga 2,06 persen, namun pada 2025 kembali melonjak tajam.
Perubahan yang begitu cepat ini menandakan adanya faktor-faktor struktural yang belum terselesaikan. Pemerintah daerah sempat mengklaim bahwa sejumlah kebijakan pengendalian inflasi telah dilakukan, namun hasilnya masih belum konsisten.
Faktor utama yang mendorong kenaikan harga di Sumut antara lain:
- Fluktuasi harga pangan seperti cabai merah, bawang, dan beras yang mengalami kenaikan ekstrem.
- Kenaikan biaya energi seperti listrik dan BBM yang langsung berdampak pada biaya produksi dan distribusi.
- Gangguan logistik dan cuaca ekstrem yang membuat pasokan terganggu, terutama dari daerah-daerah penghasil komoditas utama.
Kenaikan Harga Komoditas: Pemicu Utama Inflasi
Kenaikan harga komoditas pangan merupakan kontributor terbesar inflasi Sumut. Di pasar tradisional, harga cabai merah bisa melonjak hingga Rp90.000 per kilogram, sementara bawang merah dan beras juga naik lebih dari 20 persen. Kondisi ini menyebabkan biaya hidup meningkat tajam, terutama di wilayah perkotaan seperti Medan dan Binjai.
Distribusi bahan pangan dari daerah penghasil ke pusat kota juga terkendala. Infrastruktur jalan yang belum memadai dan biaya transportasi yang tinggi memperburuk situasi. Hal ini membuat harga di tingkat konsumen melonjak tanpa terkendali.
“Ketika harga cabai naik, masyarakat bukan hanya kehilangan selera makan, tapi juga daya beli.”
Selain faktor distribusi, iklim ekstrem yang terjadi di awal tahun 2025 memperparah situasi. Banyak petani mengalami gagal panen akibat curah hujan tinggi. Hasil produksi berkurang drastis sementara permintaan tetap tinggi, menciptakan ketidakseimbangan pasar yang sulit dikendalikan.
Peran Energi dan Transportasi dalam Kenaikan Inflasi

Sektor energi juga memiliki pengaruh signifikan. Kenaikan tarif listrik yang terjadi pada pertengahan 2025 menjadi salah satu pemicu tambahan inflasi. Pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang bergantung pada listrik untuk produksi harus menanggung beban operasional lebih tinggi.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga memperparah situasi. Biaya logistik meningkat, harga angkutan umum naik, dan efek berantai dirasakan di hampir semua sektor ekonomi. Di pasar tradisional, pedagang kecil mengaku harus menaikkan harga barang agar tetap mendapatkan margin keuntungan.
Distribusi Barang yang Tidak Efisien
Salah satu masalah mendasar yang memperparah inflasi di Sumut adalah sistem distribusi barang yang belum efisien. Sebagian besar pasokan pangan masih bergantung pada jalur darat dan pelabuhan yang padat.
Di beberapa kabupaten seperti Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, keterlambatan distribusi sering terjadi karena kondisi jalan yang buruk. Sementara di Medan, biaya logistik tinggi akibat antrian panjang di pelabuhan Belawan.
Masalah klasik ini berulang setiap tahun tanpa solusi jangka panjang. Padahal, distribusi yang lancar dan efisien adalah kunci untuk menjaga stabilitas harga di pasar.
“Inflasi di Sumut bukan hanya karena cuaca atau pasokan, tetapi juga karena sistem distribusi yang belum mampu mengikuti kecepatan pertumbuhan ekonomi.”
Dampak Inflasi terhadap Kehidupan Masyarakat
Inflasi tinggi memberikan efek domino yang signifikan terhadap masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Daya beli menurun, biaya hidup meningkat, dan tekanan ekonomi semakin terasa.
- Penurunan daya beli masyarakat
Kenaikan harga bahan pokok membuat pengeluaran rumah tangga meningkat. Banyak keluarga yang akhirnya mengurangi konsumsi atau mengganti barang berkualitas dengan yang lebih murah. - Keterpurukan UMKM
Pelaku UMKM yang biasanya menjadi tulang punggung ekonomi daerah mengalami kesulitan menjaga kestabilan harga produk. Ketika bahan baku naik, margin keuntungan mereka menyusut. - Ketimpangan sosial meningkat
Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap pendapatan lebih besar mungkin masih bisa beradaptasi. Namun di pedesaan, kenaikan harga pangan seringkali langsung memukul ekonomi rumah tangga. - Tekanan terhadap kebijakan pemerintah daerah
Pemerintah provinsi kini berada di bawah tekanan publik. DPRD Sumut menilai sistem pengendalian harga di daerah masih belum optimal, dan meminta agar pemerintah mengambil langkah konkret.
Langkah Pemerintah dalam Mengendalikan Inflasi
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengklaim telah melakukan sejumlah langkah strategis untuk menekan inflasi. Salah satunya adalah Gerakan Penanganan Inflasi Serentak (PIS) yang melibatkan seluruh kabupaten/kota.
Langkah-langkah yang diambil antara lain:
- Menggelar pasar murah di sejumlah daerah untuk menstabilkan harga pangan.
- Memperkuat koordinasi dengan pemerintah pusat dan Bank Indonesia dalam pengawasan harga komoditas.
- Mengoptimalkan kerja sama antar daerah untuk memperlancar distribusi barang.
- Menjaga stok pangan strategis seperti beras, minyak goreng, dan cabai melalui BUMD dan dinas perdagangan.
Meskipun langkah-langkah tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah, efektivitasnya masih dipertanyakan. Data menunjukkan inflasi masih bertahan di atas 4 persen bahkan setelah berbagai upaya dilakukan.
“Kebijakan pengendalian inflasi di Sumut ibarat api padam di permukaan, tapi bara tetap menyala di bawahnya.”
Kritik dan Tantangan Kebijakan
Banyak pengamat ekonomi menilai bahwa pemerintah daerah masih kurang dalam implementasi kebijakan pengendalian harga. Koordinasi antar instansi lemah, dan data pasar sering tidak akurat.
Selain itu, kebijakan pengawasan di lapangan sering kali tidak tepat sasaran. Beberapa pedagang melaporkan adanya perbedaan harga antara pasar tradisional dan pasar modern yang tidak terkendali, bahkan menimbulkan spekulasi di kalangan pelaku usaha.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengendalian inflasi tidak bisa dilakukan dengan langkah parsial. Diperlukan kebijakan menyeluruh yang mencakup aspek produksi, distribusi, dan pengawasan harga.
Upaya Jangka Panjang dan Harapan ke Depan
Untuk mengatasi inflasi secara berkelanjutan, Sumatera Utara membutuhkan strategi jangka panjang yang terintegrasi. Beberapa langkah yang disarankan oleh para ekonom meliputi:
- Diversifikasi sumber pangan lokal
Memperkuat ketahanan pangan dengan meningkatkan produksi lokal agar tidak terlalu bergantung pada pasokan luar provinsi. - Modernisasi sistem logistik dan transportasi
Pemerintah perlu berinvestasi pada infrastruktur jalan dan gudang penyimpanan untuk mengurangi biaya distribusi. - Pemberdayaan petani dan nelayan
Memberikan pelatihan dan akses modal agar produksi tetap stabil meski menghadapi cuaca ekstrem. - Digitalisasi pasar tradisional
Memanfaatkan teknologi digital untuk memantau harga secara real time dan mencegah manipulasi pasar. - Penguatan kebijakan fiskal daerah
Pemerintah harus mampu menyalurkan anggaran untuk program bantuan sosial dan subsidi yang tepat sasaran agar masyarakat kecil tidak terlalu terdampak.
“Inflasi tidak akan hilang sepenuhnya, tapi bisa dikendalikan jika semua pihak bekerja dengan data yang akurat dan niat yang tulus.”
Refleksi Ekonomi dan Sosial di Sumut
Inflasi di Sumatera Utara menjadi cerminan bagaimana tantangan ekonomi daerah dapat memengaruhi kesejahteraan nasional. Di satu sisi, provinsi ini memiliki potensi besar sebagai lumbung pangan dan energi. Namun di sisi lain, manajemen ekonomi yang belum efisien membuat potensi tersebut belum termanfaatkan sepenuhnya.
Masyarakat kini berharap agar pemerintah tidak hanya berfokus pada laporan dan rapat koordinasi, tetapi juga menghadirkan solusi nyata yang menyentuh pasar dan dapur rakyat.
Ke depan, inflasi di Sumut akan menjadi indikator penting bagi keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Jika pemerintah berhasil menurunkannya, maka kepercayaan publik akan meningkat, dan stabilitas ekonomi daerah bisa pulih.
“Menurunkan inflasi bukan sekadar urusan angka, melainkan upaya mengembalikan senyum para ibu rumah tangga di pasar-pasar tradisional yang setiap hari berhadapan dengan naik turunnya harga.”